RUMPUN MODEL PEMBELAJARAN SISTEM PERILAKU
A.
Pengertian
Model Pembelajaran Sistem Perilaku
Model
adalah kerangka
konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Secara umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu
kegiatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan
pengertian demikian, maka pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan
yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik
berubah ke arah yang lebih baik.
Dengan demikian model pembelajaran dapat diartikan kerangka konseptual atau pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan pembelajaran sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang
lebih baik. Perilaku
adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan
pengertian model pembelajaran perilaku adalah kerangka konseptual atau pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan pembelajaran sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang
lebih baik yang didasari pada tanggapan atau reaksi peserta didik
terhadap rangsangan atau lingkungan.
Teoritik
dari kelompok model pembelajaran ini ialah teori-teori belajar Behavioristik,
yaitu bertujuan mengembangkan sistem yang efisien untuk mengurutkan tugas-tugas
belajar dengan cara memanipulasi penguatan (reinforcement). Model ini dikenal
juga sebagai model modifikasi prilaku atau “Behavioral Modifications”. Semua model pembelajaran rumpun ini didasarkan pada suatu
pengetahuan yang mengacu pada teori perilaku, seperti teori belajar perilaku,
teori belajar sosial, modifikasi perilaku, atau perilaku terapi. Model-model
pembelajaran rumpun ini mementingkan penciptaan lingkungan belajar yang
memungkinkan manipulasi penguatan perilaku secara efektif sehingga terbentuk
pola perilaku yang dikehendaki. Ciri-ciri sistem model perilaku atau Behavioral Models yaitu:
a.
Seluruh
model pada kelompok ini didasarkan pada hasil sharing kajian teori-teori secara
umum, yang kemudian dipersandingkan/ diintegrasikan dengan teori-teori perilaku
(yang dikondisikan).
b.
Beberapa
teori yang mendasari: teori-teori belajar secara umum, teori belajar sosial,
teori modifikasi perilaku, dan teori-teori terapi perilaku.
c.
Secara
umum menekankan pada perubahan perilaku yang terlihat (observable) dibanding
perilaku-perilaku secara psikologis atau perilaku yang tidak bisa diamati.
d.
Penerapan
prinsip-prinsip stimulus terkontrol dan reinforcement yang menjadi dasar
penerapan model pembelajaran interaktif dan mediasi belajar terkondisikan, baik
pada pembelajaran secara individu maupun kelompok.
e.
Pengembangan
kemampuan belajar melaui fakta-fakta, konsep-konsep dan keterampilan dipandang
sama baiknya untuk mereduksi tingkat kecemasan maupun untuk memperoleh kegiatan
relaksasi individu.
B.
Prinsip-Prinsip
dalam Model Pembelajaran Sistem Perilaku
Adapun prinsip-prinsip dalam model pembelajaran sistem perilaku,
diantaranya:
1.
Perilaku sebagai fenomena yang bisa diamati dan diidentifikasi
Pada
dasarnya, sebuah stimulus dapat memunculkan perilaku yang juga dapat
menimbulkan konsekuensi, serta dapat diperkuat dengan kemungkinan bahwa sebuah
stimulus yang sama akan memunculkan perilaku yang diperkuat tersebut. Sebagai
timbal baliknya, konsekuensi negative tidak akan persis sama dengan perilaku
yang ditimbulkan.
Para ahli teori perilaku meyakini bahwa respon internal (semisal takut
gagal), yang menengahi respon-respon yang bisa diamati (semisal menghindari
bidang yang dapat memunculkan ketakutan akan gagal) sangat bisa diubah (Rimm
dan Masters, 1974).
2.
Kebutuhan terhadap tingkah laku yang kurang adaptif
Masyarakat kita seringkali beranggapan bahwa ada beberapa siswa yang
memiliki phobia terhadap pelajaran dalam bidang-bidang tertentu (semisal
matematika) yang tidak bisa diubah atau dihilangkan. Anggapan yang demikian
memunculkan citra bahwa halangan dan phobia tersebut tidak bisa diubah
sehingga tidak disikapi dengan serius, meskipun sebenarnya siswa memiliki
potensi untuk belajar menghilangkan phobia tersebut. Sehingga apabila
dibiarkan akan terjadi penurunan besar-besaran dalam prestasi akademik bidang
matematika ini. Kunci penyelesaian masalah ini adalah belajar menangani
pengaruh dalam mendekati materi pelajaran tersebut.
3.
Tujuan tingkah laku adalah hal yang khusus, terpisah, dan bergantung
pada individu
Walaupun teori-teori dari para ahli psikologi perilaku telah
lama digunakan untuk merancang materi instruksional, semisal simulasi, yang
juga digunakan oleh sejumlah siswa, kerangka ahli psikologi perilaku cenderung
khusus, terpisah, dan bergantung pada individu. Respon yang persis sama tidak berarti diproses dari stimulus asli yang
juga serupa. Sebaliknya, tidak ada dua orang yang akan memberikan respon pada
stimulus yang sama dengan cara yang juga persis sama. Hal ini berarti bahwa
tujuan masing-masing siswa mungkin akan berbeda dan bahwa proses latihan harus
dilakukan secara perseorangan, baik dalam hal materi ataupun proses latihan itu
sendiri.
4.
Teori tingkah laku fokus pada “hal-hal yang ada disini dan terjadi saat
ini”
Peran proses pembentukkan perilaku seseorang yang sudah terjadi
tidaklah terlalu ditekankan dalam hal ini. Pengajaran yang kurang baik bisa
saja mengakibatkan kegagalan dalam belajar membaca, namun hal yang akan
difokuskan disini adalah belajar membaca saati ini. Karena perilaku manusia
yang cenderung bersifat optimis dan tidak berdiam dan terlarut dalam masa lalu.
Masalah yang terasa semakin sulit sebenarnya hanya membutuhkan upaya-upaya
kecil untuk mengatasinya. Para ahli perilaku sering kali melaporkan bahwa
mereka telah berhasil mengubah perilaku kurang adaptif dalam waktu singkat,
bahkan dalam kasus phobia atau bentuk-bentuk kemunduran jangka panjang.
C. Rumpun Model-Model
Pembelajaran Sistem Perilaku
Rumpun model
pembelajaran Sistem Prilaku ini didasarkan pada the body of knowledge yang kita sebut teori prilaku (behavior theory). Istilah-istilah lain
seperti teori belajar, teori belajar sosial, modifikasi perilaku, atau perilaku
terapi digunakan oleh para ahli yang merujuk pada setiap model dalam kelompok
ini.
Model pembelajaran
perilaku mementingkan penciptaan lingkungan belajar yang memungkinkan
manipulasi penguatan perilaku secara efektif sehingga terbentuk pola perilaku
yang dikehendaki. Adapun jenis-jenis model dalam rumpun model pembelajaran sistem perilaku
ini, yaitu:
1.
Model Belajar Cara Belajar dari Pembelajaran Menguasai (Mastery Learning)
Pembelajaran menguasai (Mastery
Learning) adalah kerangka berpikir dalam merencanakan rangkaian instruksional,
yang dirumuskan oleh John B. Carrol (1971) dan Benjamin Bloom (1971). Di Indonesia model belajar tuntas (Mastery Learning)
ini dipopulerkan oleh Badan Pengembangan Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan.
Belajar tuntas atau Mastery Learning menyajikan
suatu cara yang sistematik, menarik dan ringkas untuk meningkatkan unjuk kerja
siswa ke tingkat pencapaian suatu pokok bahasan yang lebih memuaskan.
Menurut Carroll model mastery
learning ini memandang belajar di sekolah sebagai rentetan tugas belajar
yang jelas. Dalam setiap tugas, siswa maju dari ketidaktahuan mengenai fakta
atau konsep tertentu ke pengetahuan atau pemahaman mengenai fakta atau konsep
tersebut, atau dari ketidakmampuan melakukan suatu perbuatan ke kemampuan
melakukannya. (Carroll, 1963 dalam Block, 1971:5).
Menurut model ini, dalam kondisi belajar tertentu, waktu yang
dipergunakan dan waktu yang dibutuhkan tergantung pada karakteristik tertentu
dari individu serta karakteristik pengajarannya. Waktu yang dipergunakannya
ditentukan oleh jumlah waktu yang ingin dipergunakan oleh siswa untuk terlibat
aktif dalam kegiatan belajar (kesungguhannya) dan jumlah keseluruhan waktu yang
tersedia baginya. Waktu belajar yang dibutuhkan oleh masing-masing siswa
ditentukan oleh bakatnya untuk tugas yang bersangkutan, kualitas pengajarannya,
dan kemampuannya untuk memahami pengajaran tersebut. Kualitas pengajaran
didefinisikan berdasarkan tingkat pendekatan terhadap kapasitas optimum bagi
setiap pelajar melalui penyajian, penjelasan, dan pengurutan elemen-elemen
tugas belajar.
Kemampuan untuk memahami pengajaran menggambarkan kemampuan siswa untuk
memperoleh manfaat dari pengajaran itu, dan erat kaitannya dengan kecerdasannya
secara umum. Model ini memandang bahwa kualitas pengajaran dan kemampuan siswa
untuk memahami pengajaran itu berinteraksi untuk mempengaruhi jumlah waktu yang
dibutuhkannya untuk menguasai tugas secara tuntas sesuai dengan bakatnya. Jika
kualitas pengajarannya dan kemampuannya untuk memahami itu tinggi, maka dia
hanya akan membutuhkan sedikit waktu tambahan atau tidak sama sekali. Sebaliknya, jika kedua faktor tersebut
rendah, maka dia akan membutuhkan banyak waktu tambahan.
Belajar tuntas memandang
masing-masing siswa sebagai individu yang unik, yang berbeda antara satu dengan
lainnya, yang mempunyai hak yang sama untuk mencapai keberhasilan belajar
optimal. Block (1980 dalam Nasution, 1994:92) memandang bahwa individu itu pada
dasarnya memang berbeda, namun setiap individu dapat mencapai taraf penguasaan
penuh asalkan diberi waktu yang cukup untuk belajar sesuai dengan tingkat
kecepatan belajar individualnya. Jadi, yang membedakan satu individu dengan
individu lainnya dalam belajar adalah waktu. Artinya, ada individu yang dapat
menguasai sesuatu dengan penuh dalam waktu singkat dan ada yang memerlukan
waktu lebih lama, namun pada akhirnya individu akan mencapai penguasaan penuh.
Prinsip bahwa anak harus diberi kesempatan untuk belajar sesuai dengan
kecepatannya sendiri merupakan prinsip menghargai kodrat individu.
Cimino (1980) memandang belajar
tuntas sebagai suatu group-based approach (pendekatan kelompok) untuk
mengindividualisasikan pembelajaran di mana siswa sering dapat belajar secara
kooperatif dengan teman-teman sekelasnya. Belajar tuntas merupakan satu cara
untuk mengindividualisasikan pembelajaran di dalam setting pembelajaran
berkelompok tradisional.
Langkah-langkah yang harus diambil
guru untuk melaksanakan belajar tuntas (mastery
learning) mencakup:
1)
Memecah-mecah mata pelajaran ke dalam
sejumlah unit belajar yang lebih kecil (misalnya pengajaran dua mingguan),
menetapkan tujuan pembelajaran untuk setiap unit belajar, dan mengurutkan
unit-unit belajar tersebut berdasarkan tingkat kesulitannya (diawali dengan
yang paling mudah).
2)
Memberikan pretest untuk unit
pelajaran yang akan disajikan.
3)
Membagi siswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar kecil.
4)
Siswa mempelajari unit pelajaran
pertama dalam kelompok belajarnya masing-masing.
5)
Melaksanakan tutorial individual bagi
siswa yang berkesulitan.
6)
Melaksanakan tes formatif pada akhir
setiap unit pelajaran.
7)
Memberikan materi penghubung tambahan
(supplementary instructional
connectives) untuk membantu siswa mengatasi kesulitan belajar pada unit itu
sebelum pembelajaran kelompok dilanjutkan ke unit pelajaran berikutnya.
8)
Memberikan pengayaan kepada siswa
yang telah mencapai penguasaan penuh
untuk unit pelajaran ini.
9)
Memberikan tes sumatif untuk mengecek
ketuntasan belajar siswa bagi seluruh mata pelajaran.
10)
Jika pada hasil tes sumatif tersebut
siswa tidak menunjukkan ketuntasan, maka
guru menggunakan strategi-strategi korektif/pengayaan hingga ketuntasan
dicapai.
2.
Instruksi Langsung
Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) merupakan
salah satu model pengajaran yang dirancang khusus untuk mengembangkan belajar siswa
tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur
dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Yang dimaksud dengan
pengetahuan deklaratif (dapat diungkapkan dengan katakata) adalah pengetahuan
tentang sesuatu, sedangkan pengetahuan prosedural
adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu.
Model pembelajaran langsung dikembangkan secara khusus untuk
meningkatkan proses pembelajaran para siswa terutama dalam hal memahami sesuatu
(pengetahuan) dan menjelaskannya secara utuh sesuai pengetahuan prosedural dan
pengetahuan deklaratif yang diajarkan secara bertahap.
Beberapa keunggulan terpenting dari
instruksi langsung ini adalah adanya fokus akademik, arahan dan kontrol guru,
harapan yang tinggi terhadap perkembangan siswa, sistem managemen waktu, dan
atmosfer akademik yang cukup netral. Dua tujuan utama dari instruksi langsung
adalah memaksimalkan waktu belajar siswa dan mengembangkan kemandirian dalam
mencapai dan mewujudkan tujuan pendidikan. Perilaku-perilaku guru yang tampak
berhubungan dengan prestasi siswa sesungguhnya juga berhubungan dengan waktu
yang dimiliki siswa dan rating kesuksesan
mereka dalam mengerjakan tugas, yang pada gilirannya juga berhubungan erat
dengan prestasi siswa. Oleh karena itulah, perilaku yang berkaitan erat dengan
instruksi langsung memang dirancang untuk membuat sebuah lingkungan pendidikan
yang berorientasi akademik dan juga terstruktur serta mengharuskan siswa untuk
terlibat aktif (dalam tugas) saat pelaksanaan instruksi langsung.
Model instruksi langsung terdiri dari
lima tahap aktivitas; yakni orientasi, presentasi, praktik yang terstruktur,
praktik dibawah bimbingan, dan praktik mandiri. Namun, penerapan model ini
harus didahului oleh diagnosis yang efektif mengenai pengetahuan atau skill
siswa untuk memastikan bahwa mereka memiliki pengetahuan dan skill untuk
menapaki beberapa proses dan mampu mendapatkan level akurasi (kecermatan,
ketelitian, ketepatan) praktik dalam
model ini.
1)
Tahap orientasi, dimana kerangka kerja
pelajaran dibangun. Ada tiga langkah yang sangat penting dalam meng-goal-kan tujuan tahap ini, yakni guru
memaparkan maksud dari pelajaran dan tingkat-tingkat performa dalam praktik,
guru menggambarkan isi pelajaran dan hubungannya dengan pengetahuan dan atau
pengalaman sebelumnya, dan guru mendiskusikan prosedur-prosedur pelajaran yakni
bagian yang berbeda antara pelajaran dan tanggung jawab siswa selama
aktivitas-aktivitas ini berlangsung.
2)
Tahap presentasi, yakni menjelaskan
konsep atau skill baru dan memberikan pemeragaan serta contoh. Pada kasus apapun, akan sangat membantu jika
guru mentransfer informasi materi atau skill baru, baik secara lisan maupun
secara visual, sehingga siswa akan memiliki dan dapat mempelajari representasi
visual sebagai referensi dalam awal pembelajaran.
3)
Tahap praktik yang terstruktur. Guru
menuntun siswa melalui contoh-contoh praktik dan langkah-langkah di dalamnya.
Biasanya, siswa melaksanakan praktik dalam sebuah kelompok, dan menawarkan diri
untuk menulis jawaban. Cara yang paling baik dalam hal ini adalah menggunakan
proyektor, menyajikan contoh praktik secara transparan dan terbuka, sehingga
semua siswa bisa melihat bagaimana tahap-tahap praktik dilalui.
4)
Tahap praktik dibawah bimbingan guru,
memberikan siswa kesempatan untuk melakukan praktik dengan kemauan mereka
sendiri. Praktik di bawah bimbingan memudahkan guru mempersiapkan bantuan untuk
mengembangkan kemampuan siswa dalam menampilkan tugas pembelajaran. Peran guru
dalam tahap ini adalah mengontrol kerja siswa, dan jika dibutuhkan, memberikan
respon yang korektif ketika dibutuhkan.
5)
Tahap mandiri. Tahap ini dimulai saat
siswa telah mencapai leverl akurasi 85 hingga 90 persen dalam praktik dibawah
bimbingan. Tujuan dari praktik mandiri ini adalah memberikan materi baru untuk
memastikan dan menguji pemahaman siswa terhadap praktik-praktik sebelumnya.
Dalam praktik mandiri, siswa melakukan praktik dengan caranya sendiri tanpa
bantuan dan respons balik dari guru.
Model ini, sebagaimana namanya adalah bimbingan dan
pemberian respons balik secara langsung. Rancangannya dibentuk untuk
meningkatkan dan memelihara motivasi melalui aktivitas mengandalkan diri
sendiri dan penguatan ingatan terhadap materi-materi yang telah dipelajari.
3.
Assertive Training
Assertive Training merupakan latihan keterampilan-sosial
yang diberikan pada individu yang diganggu kecemasan, tidak mampu
mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain merongrong
dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan benar dan cepat
tersinggung (Corey, 2009: 215). Willis (2004:72) menjelaskan bahwa assertive training
merupakan teknik dalam konseling behavioral yang menitikberatkan pada kasus
yang mengalami kesulitan dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya.
Fokusnya adalah mempraktekkan melalui
permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperolah sehingga individu-individu
diharapkan mampu mengatasi ketakmemadaiannya dan belajar mengungkapkan
perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka disertai
keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa
assertive training dapat membantu
peserta didik untuk bergaul dan bersikap
lebih percaya diri dalam komunikasi perorangan, dan
kelompok serta memanfaatkan dialog atau interaksi juga mampu mandiri dalam bergaul dan tegas dalam mengambil keputusan. Melalui bermain peran yang intensif,
pengungkapan perasaan dengan lebih terbuka dan tetap menghargai hak-hak
orang lain, dapat mendorong pengembangan
perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap yang menunjang perwujudan
tingkah laku yang lebih efektif, yakni peningkatan kemampuan berkomunikasi baik
verbal maupun nonverbal para siswa yang
merupakan salah satu syarat terwujudnya rasa percaya diri. Selain itu,
pemberian assertive training dapat melatih ketrampilan dalam mengemukakan
pendapat, melatih keberanian untuk tampil didepan orang banyak, ketrampilan
komunikasi efektif dalam bergaul, cara untuk menolak dengan baik dalam berkomunikasi,
dan sebagainya.
Dari beberapa pengertian diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa Assertive Training adalah suatu pelatihan tingkah
laku yang dapat dikolaborasikan dengan
berbagai macam teknik yang dirancang
untuk membantu dalam membimbing individu
berinteraksi atau menyesuaikan
diri dengan orang lain sehingga individu mampu mengembangkan, menyatakan serta mengekspresikan perasaan, pikiran serta
tindakan secara bebas tanpa mengganggu orang lain ataupun membuat orang lain
merasa terancam.
Prosedur umum dalam latihan asertif
adalah sebagai berikut:
1)
Identifikasi masalah, yaitu dengan
menganalisis permasalahan siswa secara
komprehensif yang meliputi
situasi-situasi umum dan khusus di lingkungan yang menimbulkan
kecemasan, pola respon yang ditunjukkan, faktor -faktor yang mempengaruhi,
tingkat kecemasan yang dihadapi, motivasi untuk mengatasi masalahnya, serta
sistem dukungan.
2)
Pilih salah suatu situasi yang
akan diatasi, dengan memilih terlebih
dahulu situasi yang menimbulkan
kesulitan atau kecemasan paling kecil.
Selanjutnya, secara bertahap menuju pada situasi yang lebih berat.
3)
Analisis situasi, yaitu dengan
menunjukkan kepada siswa bahwa terdapat
banyak alternatif yang dapat dilakukan
untuk mengatasi masalahnya tersebut. Identifikasi alternatif
penyelesaian masalah.
4)
Menetapkan alternatif
penyelesaian masalah. Bersama-sama siswa berusaha untuk memilih dan
menentukan pilihan tindakan yang dianggap paling sesuai, mungkin, cocok, layak
dengan keinginan dan kemampuan siswa serta memiliki kemungkinan peluang
berhasil paling besar.
5)
Mencobakan alternatif yang dipilih. Dengan bimbingan,
secara bertahap siswa diajarkan untuk mengimplementasikan pilihan tindakan yang
telah dipilih.
6) Dalam proses latihan, hendaknya diperhatikan hal-hal
yang terkait dengan kontak mata, postur tubuh, gerak isyarat, ekspresi wajah,
suara, pilihan kalimat, tingkat
kecemasan yang terjadi, serta kesungguhan dan motivasinya.
4.
Model Belajar Dari Simulasi
Model pembelajaran simulasi merupakan model pembelajaran yang
membuat suatu peniruan terhadap sesuatu yang nyata, terhadap keadaan
sekelilingnya (state of affaris) atau proses. Model pembelajaran ini
dirancang untuk membantu siswa mengalami bermacam-macam proses dan kenyataan
sosial dan untuk menguji reaksi mereka, serta untuk memperoleh konsep
keterampilan pembuatan keputusan.
Pendekatan simulasi dirancang agar mendekati kenyataan dimana gerakan
yang dianggap kompleks sengaja dikontrol, misalnya, dalam proses simulasi ini
dilakukan dengan menggunakan simulator.
a. Peran
guru
Ada
4 peran guru dalam model simulasi :
1) Menjelaskan
Untuk
mengandakan pembelajaran berdasarkan simulasi, para pemain harus memahami
aturan-aturan yang cukup memadai untuk bisa melaksanakan aktivitas-aktivitas
simulasi. Namun, bukankah hal yang penting untuk membuat siswa memiliki
pemahaman penuh tentang simulasi pada waktu-waktu awal. Sebagaimana dalam
kehidupan nyata, beberapa aturan menjadi relavan hanya pada saat aktivitas
proses dan bukan pada tahap awal.
2) Mewasiti
Simulasi yang
diterapkan dalam ruang kelas dirancang untuk bisa memberikan keuntungan dalam
pendidikan. Guru harus mengontrol partisipasi siswa dalam permainan untuk
memastikan bahwa keuntungan simulasi benar-benar bisa didapatkan. Sebelum
permainan dimulai, guru harus menugaskan siswa dalam bentuk tim (jika
permainannya berbentuk tim kerja) serta menyesuaikan kemampuan masing-masing
siswa dengan peran yang akan dimainkan dalam simulasi untuk menjamin adanya
partisipasi aktif dari semua siswa.
3) Melatih
Guru harus bertindak sebagai
pelatih ketika dibutuhkan, memberikan nasihat pada pemain untuk memudahkan
mereka dalam bermain dengan lebih baik yakni untuk memaksimalkan
kemungkinan-kemungkinan simulasi secara penuh.
4) Mendiskusikan
Dalam
sesi ini, diperlukan diskusi tentang bagaimana eratnya kaitan simulasi tersebut
dengan dunia nyata, kesulitan dan pandangan apa yang dimiliki siswa, dan
hubungan apa yang bisa ditemukan antara simulasi dengan materi yang dipelajari.
b. Karakter
Model Pembelajaran Simulasi
Menurut
Joyce dan Weil (1980) dalam Udin (2001:66), model ini memiliki tahap sebagai
berikut:
1) Sintakmatik
Tahap1: Orientasi Guru
Guru menyajikan topik yang akan dibahas dan konsep yang akan digunakan dalam
aktivitas simulasi. Selain itu, guru juga memberikan penjelasan mengenai simulasi
jika saat itu adalah saat pertama siswa melakukan simulasi. Guru juga perlu
menyajikan ikhtisar dari permainan (mengemukakan
prosedur). Tahap pertama ini,
tidak boleh memakan waktu yang lama meskipun tahap tersebut merupakan konteks
yang penting bagi siswa dalam menjalani aktivitas pembeajaran simulasi.
Tahap
2: Latihanperan
Pada
tahap ini, guru menyusun sebuah skenario yang menyusun sebuah skenario yang
memaparkan peran, aturan, proses, skor, jenis keputusan yang akan dibuat dan
tujuan simulasi. Guru mengatur siswa pada peran yang bermacam-macam dan
memimpin praktik dalam jangka waktu singkat untuk memastikan bahwa siswa telah
memahami semua arahan dan bisa melaksanakan perannya masing-masing.
Tahap
3: Proses simulasi
Siswa
berpartisipasi dalam permainan atau simulasi, dan guru juga memainkan perannya
sebagai wasit dan pelatih. Secara periodik, permainan simulasi bisa dihentikan
sehingga siswa dapat menerima umpan balik, mengevaluasi performa dan keputusan
mereka, dan mengklarifikasi kesalahan-kesalahan konsepsi.
Tahap
4:Pemantapan dan debriefing
Berdasarkan
hasil yang diperoleh, guru dapat membantu siswa fokus pada hal-hal berikut :
a) Menggambarkan
kejadian dan persepsi serta reaksi mereka
b) Menganalisis
proses
c) Membandingkan
simulasi dengan dunia nyata
d) Menghubungkan
aktivitas dengan materi pelajaran
e) Menilai
serta merancang kembali suatu simulasi
2) Sistem
Sosial
Didalam simulasi, pengajar harus
dengan sengaja memilih jenis kegiatan dan mengatur siswa dengan merancang
kegiatan yang utuh dan padat mengenai sesuatu proses. Karena itu, model
ini termasuk model yang terstruktur. Keberhasilan dari model ini tergantung
pada kerjasama dan kemauan dari siswa untuk secara bersungguh-sungguh
melaksanakan aktivitas ini.
3) Prinsip
reaksi/pengelolaan
Dalam model ini, pengajar berperan
sebagai pemberi kemudahan atau fasilitator. Dalam keseluruhan proses
simulasi, pengajar bertugas dan bertanggung jawab atas terpeliharanya suasana
belajar dengan cara menunjukkan sikap yang mendukung atau supportif dan tidak
bersifat menilai atau evaluatif.
Penerapan
Simulasi bisa mensimulasikan pembelajaran mengenai :
a) Kompetisi
b) Kerjasama
c) Empati
d) Sistem
sosial
e) Konsep
f) Skill
g) Menjalani
hukuman
h) Peran
kesempatan/peluang
i)
Kemampuan untuk
berpikir kritis (menguji strategi alternatif dan mengantisipasi hal-hal lain)
dan membuat keputusan.(Nesbitt, 1971: 35-53)
5. Model
Pembelajaran Kontrol Diri
Dalam kamus psikologi disebutkan,
definisi kontrol diriatau
self control adalah kemampuan
individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan untuk
menekan atau menghambat dorongan yang ada. Hurlock (1990) mengatakan
kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta
dorongan-dorongan dalam dirinya
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
kontrol diri merupakan upaya dari dalam diri seseorang untuk membentuk tingkah
laku positif dan mengurangi tingkah laku yang negatif. Kontrol diri ini dapat
diterapkan pada sebuah model pembelajaran yang dinamakan dengan model kontrol
diri. Tujuannya adalah agar pendidikan bukan hanya menciptakan pengetahuan
saja, tapi juga mampu membentuk perilaku positif dari sebuah pembelajaran melalui
pengkontrolan diri pada perilaku yang negatif.
Ciri-ciri
control diri menurut Hurlock, ada dua kriteria yaitu:
1) Emosi dapat diterima bila reaksi
masyarakat terhadap pengendalian emosi adalah positif.
2)
Efek yang muncul setelah mengontrol emosi tidak membahayakan
fisik dan psikis individu.
b. Pendekatan
belajar control/pengendalian diri
Pendekatan
belajar control/pengendalian diri bertolak dari keyakinan bahwa perilaku
peserta didik merupakan hasil belajar. Karena itu peserta didik harus diberi
kemudahan untuk belajar bagaimana bertanggung jawab secara moral atas
lingkungan personal dan sosial memahami dirinya secara utuh.
Pendekatan
ini digunakan oleh guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang produktif dan
menghindarkan peserta didik dari keengganan untuk melibatkan diri dalam
kesempatan belajar yang tersedia secara umum. Peserta didik yang suka
mengganggu temannya, dapat belajar secara lebih produktif untuk berhubungan
dengan temannya. Kemudian peserta didik yang memiliki rasa takut terhadap mata
pelajaran tertentu, dapat belajar bagaimana menghilangkan rasa takut itu dengan
membangun perasaan yang tegar (affirmatif).
Joice,
B. dan Weil, M, (1980), dalam bukunya
memberikan ilustrasi tentang model self-control ini. Diceritakan ada
seorang anak bernama Susan yang sebenarnya memiliki kemampuan baik. Namun
belakangan hari nilai mata pelajarannya mengalami penurunan. Kemudian seorang
guru Bahasa Inggris bernama Mr. Long menanyakan cara belajar Susan. Ternyata
Susan belajar sambil menonton televisi
bersama adiknya, dibarengi dengan bercakap-cakap dan ngemil serta
bermain handphone.
Mr.
Long bukannya menyalahkan Susan, malah sebaliknya membantu mencari pemecahan
masalah tersebut. Membicarakan tentang pengaruh kebiasaan belajar Susan
terhadap nilainya. Kemudian membicarakan bagaimana mengatur lingkungan untuk
mendapatkan belajar yang efektif. Susan merasa nyaman, dia bermaksud
mengembangkan suatu sistem yang lebih baik untuk melaksanakan pekerjaannya dengan bantuan Mr. Long.
Kemudian
Mr. Long menerangkan kepada Susan beberapa prinsip dasar perilaku terutama bagaimana lingkungan
mempengaruhi perilaku. Mr. Long dan Susan menghabiskan beberapa pertemuan-pertemuan untuk pengaturan
atas programnya. Susan membuat daftar langkah-langkah dalam programnya. Susan
menjejaki kemajuan-kemajuan dan mencatat usul untuk meninjau ulang program itu.
Ilustrasi di atas merupakan gambaran bagaimana seorang guru menerapkan model self-control dalam pembelajaran
c. Model
self-control/pengedalian
Model
self-control/pengedaliandiri yang terdiri atas orientasi model, sintax, sistem sosial, prinsip reaksi, aplikasi.
1)
Orientasi Model
Prinsip-prinsip operant
conditioning juga digunakan pada model self-control, terutama kontrol stimulus
dan penguatan positif. Namun,
dalam model ini aspek-aspek tersebut benar-benar di tangan peserta. Masalah
self-control berkaitan dengan :
a)
Langkah pertama, membuat orang sadar akan jangka pendek dan
jangka panjang. Contoh : Membuang sampah sembarangan
b)
Langkah kedua,landasan prosedur self-control memperhatikan
dan sengaja mengatur lingkungan yang lebih baik (lingkungan faktor penghalang).
Contoh : tipe belajar auditori belajar pada lingkungan yang bising dan
c)
Langkah ketiga,stimulan untuk mengalahkan diri sendiri adalah
perilaku rahasia (covert control), ketika berpikir seperti, “Semua orang
memahami materi ini, kecuali aku”.
2)
Sintaks
Model ini memiliki lima tahap (Joyce dan
Weil,1986:347) seperti berikut :
Tahap ke-1: Perumusan performansi akhir
|
-Mengidentifikasi dan mendefinisikan
perilaku yang menjadi sasaran,
-Merumuskan
secara khusus perilaku akhir
-Mengembangkan rencana untuk mengulur
dan mencatat perilaku
|
Tahap ke-2: Mengkaji perilaku
|
-Mengamati, dan mencatat kekerapan
perilaku dan jika perlu, hakikat dan konteks dari perilaku itu.
|
Tahap ke-3: Merumuskan Kontingensi
|
-Membuat
keputusan mengenai lingkungan
-Memilih sarana penguat atau
“reinforcers” dan pola pemberian penguatan,
-Menuntaskan
perencanaan bentuk perilaku akhir
|
Tahap ke-4: Melembagakan Program
|
-Menata lingkungan,
-Memberikan pengantar bagi para
pelajar
- Memelihara penguatan dan
melaksanakan jadwal atau pola penguatan
|
Tahap ke-5: Mengevaluasi Program
|
-Mengukur respon yang diharapkan,
-Membangun kembali kondisi yang lama,
mengukur dan mengembalikan para program kontingensi
|
3)
Sistem Sosial
Sistem sosial
yang perlu dibangun untuk perilaku yang khusus lebih bersifat sangat
terstruktur. Guru berfungsi sebagai pengendali sistem penguatan dan lingkungan.
Aspek sosial dari model ini lebih bersifat kesepakatan, dalam arti sambil
berjalan dapat ditumbuhkan. Demikian juga dalam pola dan dan jadwal pemberian
penguatan, guru dapat melakukan kesepakatan dengan para pelajar.
4)
Prinsip Reaksi
Instruktur memiliki peran
penting dalam keberhasilan program self-control.
a) Selalu mengingatkan
siswa bahwa perilaku berada di bawah kontrol lingkungan dan bukan merupakan
fungsi dari kelemahan pribadi (secara bertahap, peran ini akan berkurang).
b) Menjamin rasa
realisme (dan ketegasan) dalam merencanakan dan melaksanakan program self-control, melihat memastikan bahwa
tujuan yang wajar ditetapkan dan tidak menuntut kesempurnaan.
c) Instruktur
menawarkan bimbingan intelektual siswa dalam menerapkan prinsip perilaku dan
teknik.
5)
Aplikasi
Salah satu penggunaan terbaik dari model self-control adalah menuju perbaikan
sebuah kebiasaan belajar. Mungkin siswa memiliki kendala terbesar di daerah
ini, mereka cenderung mengatur tujuan. Sesudah sepanjang sejarah kegagalan dalam sebuah
subjek area, mereka mungkin berharap diri untuk melakukan beberapa jam atau
banyak halaman tanpa gangguan bekerja. Bisa ditebak mereka
akan gagal. Frustrasi mereka dengan kesulitan tugas akan memuncak, dan dalam
waktu singkat mereka akan menyerah, membenarkan asumsi asli mereka, "saya
tidak baik - aku tidak bisa melakukannya!" salah satu peran paling penting
dari instruktur adalah membantu siswa membentuk suatu program dengan
tujuan-tujuan kecil, seperti sepuluh sampai lima belas menit studi, atau
beberapa halaman dari buku teks. Teknik
lain self-control untuk meningkatkan
waktu belajar yaitu:
a)
Mengubah lingkungan stimulus (misalnya,
memilih tempat yang tenang bebas dari gangguan dan orang).
b)
Penguatan isyarat (membuat meja atau wilayah
studi hanya digunakan untuk tujuan ini).
c) Penguatan
(membatasi tugas sehingga siswa dapat mengalami kesuksesan sebelum kebosanan
dan frustrasi di set).
6. Model
Pembelajaran Relaksasi
a. Definisi Relaksasi
Model relaksasi dapat dijadikan bantuan
bagi siswa yang mengalami stress akademik. Model ini dapat digabungkan dengan
model yang lainnya. Relaksasi merupakan suatu proses yang membebaskan mental
dan fisik dari segala macam faktor yang menyebabkan adanya ketegangan dengan
menggunakan berbagai macam teknik. Tujuan pokok relaksasi adalah untuk menahan
terbentuknya respon stres, terutama dalam sistem saraf dan hormon. Ada dua
teknik relaksasi, yaitu: 1) Teknik relaksasi fisik. Yaitu dengan cara
pernapasan diafragma. 2) Teknik relaksasi mental. Yaitu dengan cara meditasi.
Relaksasi ini dipakai dikarenakan sebagian besar siswa yang mengalami stres
akademik ditimbulkan oleh kelelahan dalam belajar, tugas yang begitu banyak,
kurangnya waktu untuk mengistirahatkan diri (jadwal kegiatan padat) serta
kecemasan menghadapi ujian. Kecemasan dalam menghadapi ujian muncul karena
siswa merasa tidak siap secara fisik atau mental dalam menghadapi ujian.
Teknik
relaksasi adalah salah satu bentuk terapi berupa pemberian instruksi kepada
seseorang untuk menutup mata dan berkonsentrasi pada pernafasan sehingga akan
tercipta keadaan yang nyaman dan tenang, serta memberikan instruksi berupa
gerakan-gerakan mulai dari kepala sampai kaki yang tersusun secara sistematis
untuk melatih otot menjadi rileks. Otot yang dilatih antara lain otot lengan,
tangan, bahu, leher, wajah, perut, dan kaki. Mengendurnya otot-otot tubuh yang
tegang menjadi rileks (santai) akan tercipta suasana perasaan yang tenang dan
nyaman (Beck, 1995; Wirahmihardja, 2004; Kurniawan, 2009). Perasaan yang tenang dan nyaman akan menopang
lahirnya pola pikir dan tingkah laku yang positif, normal, dan terkontrol
b. Prosedur
relaksasi
Pelatihan relaksasi
melibatkan beberapa prosedur, yaitu:
1) Siswa diberi intruksi yang mengajarkan mereka untuk bersantai.
Membayangkan berada pada lingkungan santai dan tenang.
2) Bernafas dalam dan
teratur
3) Pada saat yang sama
siswa difokuskan pada pikiran atau gambar yang menyenangkan.
4) Siswa diajarkan
bagaimana untuk bersantai dengan semua otot. Otot-otot lengan,
diikuti kepala, bahu dan
leher, punggung, perut, dan dada, dan
kemudian tungkai bawah.
Beberapa manfaat yang diperoleh dari latihan
relaksasi antara lain adalah: 1) Relaksasi akan membuat individu lebih mampu
menghindari reaksi yang berlebihan karena adanya stres, masalah-masalah yang
berhubungan dengan stres seperti hipertensi, sakit kepala, insomnia dapat
dikurangi atau diobati dengan relaksasi. 2) Dapat mengurangi tingkat kecemasan.
3) Mengurangi kemungkinan gangguan yang berhubungan dengan stres dan mengontrol
anticipantory axiety sebelum situasi yang menimbulkan kecemasan, seperti pada
pertemuan penting, wawancara dan sebagainya. 4) Kesadaran diri tentang keadaan
fisilogis seseorang dapat meningkat. Berdasarkan pada tujuan dan manfaat
relaksasi, terdapat respon atau pengaruh relaksasi pada tiga aspek kehidupan
manusia, yaitu:
1) Pikiran
Dalam keadaan relaksasi, pola pikir manusia akan
menjadi lebih matang karena pikiran dalam keadaan tenang. Pada anak-anak dapat
meningkatkan intelegency meliputi karakter kognitif, matematis, logis, serta
karakter afektif, relational, kreatif dan emosional.
2) Perasaan
Relaksasi dapat
mengurangi kecemasan, menurunkan tingkat egosentris sehingga hubungan intra
personal ataupun interpersonal menjadi lancar. Serta mengurangi stres secara
keseluruhan, meraih kedamaiandan keseimbangan emosional yang tinggi.
3) Perilaku
Tujuan pokok relaksasi
adalah membantu orang menjadi rileks, sehingga dapat membantu individu untuk
dapat mengontrol diri dan memfokuskan perhatian sehingga ia dapat mengambil
respon yang tepat saat berada dalam
Komentar
Posting Komentar