RUMPUN MODEL PEMBELAJARAN PERSONAL
2.1
Konsep Dasar Model Pembelajaran Personal
1.
Definisi Model Pembelajaran Personal
Dibeberapa
referensi penyusun belum menemukan definisi secara utuh. Para pakar hanya
mendefinikan secara parsial tentang pengertian model
pembelajaran personal. Dari beberapa uraian tentang model pembelajaran personal
penyusun mendefisikan model pembelajaran personal adalah model pembelajaran
yang bertitik tolak dari teori belajar humanistik. Model pembelajaran ini
berorientasi terhadap pengembangan diri individu. Perhatian utamanya pada
emosional siswa untuk mengembangkan hubungan yang produktif dengan
lingkungannya. Model
ini menjadikan pribadi siswa yang mampu membentuk hubungan harmonis serta mampu
memproses informasi secara efektif. Menurut teori ini, guru harus berupaya
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, agar siswa merasa bebas dalam
belajar dan mengembangkan potensi dan minat bakatnya, baik potensi emosional
maupun intelektual. Menurut Rusman
(2014) implikasi teori humanistik dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
a.
Bertingkal laku dan belajar adalah
hasil pengamatan.
b.
Tingkah laku yang ada, dapat
dilaksanakan sekarang (learning to do).
c.
Semua individu memiliki dorongan
dasar terhadap aktualisasi diri.
d.
Sebagian besar tingkah laku individu
adalah hasil dari konsepsinya
sendiri bukan dari pengaruh orang lain (guru).
e.
Guru mengajar adalah bukan hal
penting, tapi belajar siswa adalah sangat
penting (learn how to learn).
f.
Mengajar adalah membantu
individu untuk mengembangkan suatu hubungan yang produktif dengan lingkungannya
dan memandang dirinya sebagai pribadi yang cakap.
Tokoh humanistik
adalah Abraham Maslow, R.Roger, C.Bruner, dan Arthur Comb. Menurut teori ini,
guru harus berupaya belajar dan mengembangkan dirinya, baik emosional maupun
intelektual. Teori Humanistik timbul sebagai gerakan memanusiakan manusia.
Menurut Soemantrie (Abdullah: 160-161) dalam pandangan humanistik kurikulum
berpusat pada siswa dan mengutamakan perkembangan afektif siswa sebagai
prasyarat dan sebagai bagian integral dari proses belajar. Para pendidik
humasnistik yakin, bahwa kesejahteraan mental dan emosional siswa harus
dipandang sentral dalam kurikulum, agar belajar itu memberi hasil maksimal.
Prioritasnya adalah pengalaman belajar yang diarahkan pada tanggapan minat,
kebutuhan dan kemampuan anak.
2.
Tujuan model pembelajaran personal
Menurut Syaharudin (2012;1) model pembelajaran personal memiliki beberapa
tujuan. Pertama, menuntun siswa untuk memiliki kekuatan mental yang lebih baik
dan kesehatan emosi yang lebih memadai dengan cara mengembangkan kepercayaan
diri dan perasaan realistis serta menumbuhkan empati pada orang lain. Kedua,
meningkatkan proporsi pendidikan yang berasal dari kebutuhan dan aspirasi siswa
sendiri, melibatkan semua siswa dalam
proses menentukkan apa yang akan dikerjakannya atau bagaimana cara ia
mempelajarinya. Ketiga, mengembangkan jenis-jenis pemikiran kualitatif
tertentu, seperti kreativitas dan ekspresi pribadi.
3.
Prinsip dan Karakteristik Umum Model Pembelajaran Personal
Beberapa prinsip dan karakteristik umum model pembelajaran personal adalah
sebagai berikut:
a.
Pembelajaran berpusat kepada siswa (student
centered).
Siswa diberikan kebebasan berkreativitas mencapai tujuan
pembelajarannya. Bahkan dalam teori model pembelajaran humanis murni tujuan
pembelajaran tidak dinyatakan dan disamakan. Semua siswa diberikan kebebasan
menentukan tujuan yang diinginkannya.
a.
Pembelajaran berfokus pada pengembangan mental belajar dan penajaman
kreativitas siswa. Mental belajar berupa kesadaran diri, konsep diri, pemahaman
diri tentang segala potensinya dan
memahami cara mengembangkannya sesuai dengan gaya belajar yang disukainya. Kegiatan pembelajaran harus dikemas secara fleksibel, menarik dan tidak
membosankan.
b.
Kegiatan pembelajaran dilakukan sepenuh hati. Karena tidak ada paksaan dan tidak ada standar baku
yang disamakan kepada semua siswa. Sehingga masing-masing siswa akan menampilkan
performanya masing-masing.
c.
Guru berperan sebagai fasilitator
dan pengarah proses belajar siswa.
d.
Siswa diberikan kebebasan dalam
menentukan cara, metode, strategi bahkan bahan ajar dan lingkungan belajarnya
sesuai dengan keinginan dan gaya belajarnya masing-masing yang penting tujuan
umum pembelajaran tercapai.
e.
Proses penilaian berfokus pada
produktivitas karya kreatif siswa. Sesuai dengan minat dan bakat serta potensi
yang dikembangkannya. Proses evaluasi tidak mengenal standar yang disamakan
antara semua siswa sebagaimana proses evaluasi dalam teori pembelajaran
berhavioristik.
2.2
Jenis - Jenis Model Pembelajaran Personal dan Penerapannya dalam Kegiatan
Pembelajaran
Ada beberapa model pembelajaran yang menurut para ahli dikategorikan
kedalam rumpun model pembelajaran personal. Secara umum tergambar dalam tabel
berikut ini:
No.
|
Model Pembelajaran
|
Tokoh
|
Tujuan
|
||||
1.
|
Pengajaran
Tidak Terarah (non-direktif)
|
Carl Rogers
|
Penekanan pada pembentukan kemampuan untuk perkembangan pribadi dalam
arti kesadaran diri, kemandirian, dan konsep diri.
|
||||
2.
|
Latihan kesadaran
|
Fritz Peris, William Schultz
|
Meningkatkan kemampuan seseorang untuk eksplorasi diri dan kesadaran
diri. Banyak menekankan pada perkembangan kesadaran dan pemahaman antar
pribadi.
|
||||
3.
|
Sinektik
|
William Gordon
|
Perkembangan pribadi dalam kreativitas dan pemecahan masalah kreatif.
|
||||
4.
|
Sistem-sistem Konseptual
|
David Hunt
|
Dirancang untuk meningkatkan kekomplekan dan pemecahan masalah kreatif.
|
||||
5.
|
Pertemuan kelas
|
William Glasser
|
Perkembangan pemahaman diri dan tanggungjawab kepada diri sendiri dan
kelompok sosial.
|
||||
Sumber : Rusman, (2014:143)
Penjelasan Model
Pembelajaran Personal
1.
Pengajaran Tidak Terarah (Non direktif)
Model pengajaran
tidak terarah didasarkan pada karya Carl Rogers (1961,1971) dan beberapa
penggagas lain yang memberi bimbingan mengenai model ini. Rogers memperluas
pandangan nya tentang terapi dalam dunia pendidikan sebagai model pengajaran.
Dia percaya bahwa hubungan positif antar sesama manusia memudahkan mereka untuk
tumbuh. Sebab itu pula, instruksi yang ada seharusnya didasarkan pada konsep-konsep mengenai
hubungan sesama manusia yang dibandingkan dengan konsep-konsep dalam materi
pelajaran. Penerapan model pembelajaran non-direktif menurut Aunurrahman (2013:
165) lebih banyak dilakukan dalam bentuk interview tidak langsung yang
dilakukan dalam beberap urutan yang terbagi dalam lima fase. Fokus pada usaha menggunakan model ini untuk memberi nuansa lain
dalam pengajaran, yakni untuk menjaga dan mempertahankan kerangka berpikir
siswa, menjaga pusat perkembangan diri mereka, serta membantu mereka mengatasi
masalah-masalah pembelajaran. Dari sikap
yang tidak terarah (nondirective stance),
peran guru adalah sebagai fasilitator yang menjalankan relasi konseling
(bimbingan) pada para siswa serta mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan
mereka. Dalam peran ini, guru membantu siswa mengeksplorasi gagasan baru
terkait dengan kehidupan, tugas akademik dan hubungan siswa dengan orang lain.
Model ini menciptakan sebuah lingkungan yang memudahkan siswa dan guru bekerja
sama dalam proses pembelajaran. Model ini juga memudahkan siswa untuk saling berbagi
gagasan secara terbuka serta membangun komunikasi yang sehat. Model tidak terarah lebih fokus pada pengasuhan dan bimbingan pada
siswa dibanding mengontrol urutan proses pembelajaran. Model ini menekankan
pada pengembangan gaya pembelajaran yang efektif dalam gaya pembelajaran jangka
panjang serta pengembangan karakter pribadi yang kuat dan bisa diarahkan. Model
ini tidak membidik instruksi jangka pendek ataupun sasaran materi pembelajaran.
Guru dalam model ini haruslah sabar dan tidak memaksakan adanya hasil secara
cepat dan sesegera mungkin.
ORIENTASI MODEL Tujuan dan Asumsi
Beberapa
elemen yang dapat menciptakan atmosfer tidak terarah untuk membangun interaksi
produktif antara siswa dan guru. Model pengajaran tidak terarah fokus pada aspek penyedian fasilitas. Lingkungan di tata
sedemikian rupa untuk bisa membantu siswa mendapatkan kepaduan pribadi yang
lebih efektivitas, dan penilaian diri yang realistis. Stimulasi, pengujian, dan
evaluasi persepsi baru menjadi pilar utama dalam hal ini, karena pengujian
kembali terhadap kebutuhan dan nilai sumber-sumber dan hasilnya adalah inti
dari keterpaduan personal. Siswa tidak perlu melakukan perubahan, tujuan guru
hanyalah untuk membantu siswa menegerti kebutuhan mereka sendiri serta beberapa
nilai tertentu sehingga siswa bisa mengarahkan keputusan pendidikan secara
efektif. Alasan inti kemunculan model ini ditunjukan oleh sikap Roger
terhadap konseling tak terarah, dimana klien yang memiliki kapasitas untuk mengahadapi
hidupnya secara konstruktif diberi kebebasan sepenuhnya untuk menuntukkan dan
memilih hidupnya dengan tetap dibimbing dan diarahkan. Oleh karena itu, dalam
pengajaran tidak terarah, guru harus menghormati kemampuan siswa dalam
mengidentifikasi masalah mereka sendiri dan merumuskan sebuah solusi. Ketika menerapkan model pengajaran ini, guru harus berusaha melihat
dunia yang ada dalam pikiran siswa, menciptakan atmosfer komunikasi yang sarat
dengan empati sehingga arah dan pendirian pribadi siswa dapat dibimbing dan
dikembangkan. Selama interaksi tersebut berlangsung, guru merefleksikan
pemikiran dan perasaan siswa. dengan menggunakan komentar yang reflektif, guru
membangkitkan kesadaran siswa terhadap persepsi dan perasaan mereka, lalau
membantu mereka mengklarifikasi gagasan-gagasannya. Guru juga bertindak sebagai alter ego yang baik hati. Guru menjelma
seseorang yang menjadi muara segala pemikiran dan perasaan siswa meskipun tidak
menutup kemungkinan siswa akan merasa takut atau menganggap tindakan guru
tersebut sebagai hal yang salah atau bahkan sebuah pelanggaran. Dalam memainkan
peran yang terkesan “terbuka” dan “tidak menghukum”, guru biasanya secara
tidak langsung mengkomunikasikan pada siswa bahwa semua pemikiran dan perasaan
yang ada dalam benak mereka dapat diterima. Pada intinya, pengakuan terhadap
perasaan positif dan negatif adalah inti dalam upaya pengembangan perasaan dan
solusi yang positif. Guru berperan
sebagai pembuat keputusan secara tradisional dan berperan sebagai fasilitator
yang fokus pada perasaan siswa. hubungan antara siswa dan guru dalam suatu
diskusi tak terarah dapat digambarkan sebagai kemitraan (partnership). Oleh karena itu, jika sisiwa melakukan komplain
karena mutu yang rendah dan ketidakmampuan dalam belajar, guru sebaiknya jangan
berusaha memecahkan masalah tersebut hanya dengan seni kebiasaan belajar.
Selain itu, guru juga perlu merangsang siswa untuk mengungkapkan perasaan yang
mungkin melatarbelakangi ketidakmampuannya untuk berkonsentrasi, baik apa yang
dirasakannya sendiri atau dirasakan orang lain. Ketika perasaan ini
dieksplorasi dan persepsi ini diperjelas, siswa pada akhirnya akan mencoba
mengidentifikasi perubahan-perubahan yang perlu dilakukan. Atmosfer tak
terarah memiliki empat kualitas. Pertama,
guru menunjukkan kehangatan dan keakraban serta tanggap terhadap semua tindakan
siswa. Selain itu, guru juga mengungkapkan minat dan ketertarikan yang murni
untuk membantu dan mendampingi siswa serta menerima dan memperlakukan siswa
dengan tindakan-tindakan manusiawi yang wajar. Kedua, model ini membolehkan
hal apapun yang ada sangkut pautnya dengan pengungkapan perasaan; dalam hal
ini, guru jangan menghakimi dan mendakwahkan benar-salah. Mengingat pentingnya
emosi, ada banyak materi diskusi yang sebenarnya dirancang agar bisa’melawan’
hubungan tradisional yang kaku antara siswa dengan guru atau penasehat. Ketiga, siswa memiliki kebebasan penuh
untuk mengungkapkan perasaaannya secara simbolik. Namun, hal ini tidak berarti
bahwa siswa bebas seenaknya mengintrol guru atau melakukan semua yang
diinginkannya. Keempat, hubungan
tersebut terbebas dari hal-hal yang berbau paksaan dan tekanan. Guru haruslah
menjauhi tindakan-tindakan tertentu, semisal ketimpangan (pilih kasih) pada
seorang siswa tertentu atau melakukan tindakan aneh yang rentan terdapat
kritikan siswa. Siswa tugas pembelajaran dipandang sebagai sebuah kesempatan
untuk membantu siswa tumbuh dan berkembang sebagai manusia normal.
Sebuah “Sindrom Pertumbuhan” Sindroma (gejala) pertumbuhan semacam ini muncul saat siswa (1)
melepaskan dan mengungkapkan perasaannya, (2) mengembangkan wawasan dan
pengetahuan dengan (3) tindakan dan (4) adanya keterpaduan yang menuntun pada
orientasi baru. 

Menurut Rogers,
merespons masalah siswa yang berkaitan dengan basis intelektual dapat
menghambat pengungkapan perasaan yang merupakan inti dalam masalah
perkembangan. Misalkan saja, saat seorang siswa
berjuang mati-matian untuk menulis, maka respons intelektual seharusnya
berbunyi seperti ini, ‘Mulailah dengan membuat kerangka”, sedangkan respons
empatik seharusnya terdengar seperti ini, “Saat saya tertipu, saya pasti merasa
panik. Apa yang kalian rasakan jika kalian tertipu? “Tanpa adanya pelepasan dan
eksplorasi perasaan-perasaan semacam ini, siswa akan menolak saran dan tidak
akan bisa melakukan perubahan perilaku. Wawasan adalah tujuan jangka pendek dalam proses ini. Dengan
mengungkapkan perasaannya, siswa akan mampu melihat masalah. Masalah memudahkan
seseorang untuk mencicipi tulisan orang lain. Indikasi munculnya suatu wawasan
dapat diketahui dari pernyataan siswa
yang menggambarkan perilaku mereka sebagai sebab dan efek yang berkaitan dengan
makna pribadi. Dalam skenario tersebut, siswa mulai menyadari bahwa masalah
mereka sebenarnya terletak dalam ketakutannya sendiri, tidak pada kemungkinan
adanya pelabelan yang diberikan orang lain. Saat mereka mulai memahami alasan
perilaku dan tindakan mereka, mereka juga akan mulai melihat cara-cara
fungsional lain untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan adanya pelepasan emosi,
siswa bisa merasakan pilihan-pilihan dengan lebih jelas. Wawasan baru
memudahkan siswa untuk memilih tujuan yang sempat tertunda namun lebih
memuaskan dibandingkan memilih tujuan yang hanya memberikan kepuasan secara
instan namun sifatnya sementara. Pada akhirnya, tes wawasan pribadi menjadi tindakan yang nantinya
dapat mendorong siswa menuju orientasi baru. Pertama, tindakan positif ini bisa menyangkut isu kecil, namun
siswa dapat meningkatkan kepercaya dirian dan kemerdekaan(tiada nya
ketergantungan). Inilah yang dimaksud dengan fase keteraturan. Dalam skenario
pertama Charley mengalihkan siswa dari kesengsaraan dan ketakutan menuju
masalah yang berorientasi untuk membantu dirinya sendiri maupun orang lain
dalam meningkatkan taraf hidup di tengah banyaknya masalah yang juga pelik.
Dalam skenario kedua, tujuan jangka panjangnya adalah kemampuan siswa yang
memadai dalam membuat tulisan yang berasal dari pemahaman yang sudah lebih baik
mengenai dinamika sosial. Dengan kata lain, siswa pada akhirnya akkan memahami
bahwa tindakan saling berbagi memiliki konsekuensi yang baik dan bahwa kepuasan
bisa muncul dari pemahaman yang terpadu mengenai suatu masalah yang di bahas. Pendekatan tidak terarah menegaskan bahwa alat paling efektif dalam
menyingkap dan mengetahui emosi yang mendasari suatu masalah tertentu adalah
dengan cara mengikuti corak perasaan siswa saat perasaan ini mereka ekspresikan
dengan bebas. Selain mengajukan pertanyaan langsung dengan tujuan mendatangkan
atau memperlihatkan emosi, guru seharusnya juga membiarkan siswa langsung
mengarah pada arus pemikiran dan perasaan. Jika siswa dapat mengungkapkan
perasaannya dengan bebas, masalah dan emosi yang mendasari hal tersebut akan
muncul kepermukaan. Proses ini dapat dipermudah dengan cara merefleksikan
perasaan siswa,yakni menuntut siswa agar memiliki kesadaran dan fokus yang
lebih tajam. Namun demikian, cara ini tergolong sulit karena kita akan lebih
banyak berurusan dengan esensi sasaran pembahasan tentang apa yang dikatakan
orang dibanding dengan dimensi afektif untuk komunikasi.
Membimbing Baik siswa maupun guru sama-sama memiliki tanggung jawab dalam sebuah
diskusi. Namaun sering sekali, guru haruslah membuat semacam respons-respons
“bimbingan” (lead taking) untuk mengarahkan atau mempertahankan
percakapan (lihat tabel 14.1). Respon lead-taking
ini menyangkut pertanyan yang diberikan guru dan juga snagat membantu dalam
memulai diskusi,menentukan petunjuk dengan gaya terbuka atau memberikan
beberapa pedoman mengenai materi yang harus didiskusikan siswa,baik secara
khusus maupun secara umum.
A.
Respons tidak terarah terhadap perasaan
|
B.
Respons memberikan bimbingan yang tidak terarah
|
Penerimaan yang
sederhana
Refleksi perasaan
Penguraian materi
|
1.
Menyusun struktur
2.
Mengarahkan pertanyaan
3.
Meminta siswa memilih dan
mengembangkan topik
4.
Bimbingan tidak terarah dan
pertanyaan-pertanyaan terbuka
5.
Dorongan untuk berbicara
|
Model Pengajaran Peran tak terarah menyajikan beberapa masalah yang cukup menarik.
Pertama, adanya pembagian tanggung jawab. Pada kebanyakan model pengajaran,
guru secara aktif membentuk kejadian-kejadian dan menuliskan berbagai macam
aktivitas, namun dalam model pengajaran tidak teraarah, kejadian-kejadian
tersebut muncul dengan sendirinya dan pola aktivitas-aktivitas akan selalu
berubah-ubah. Kedua, konseling dalam model tidak teraarah dapat menciptakan
serangkaian respons yang terjadi dalam rangkaian yang tidak terduga. Oleh
karena itulah, untuk menguasai pengajaran tidak terarah, guru harus mempelajari
prinsip umum, berusaha meningkatkan sensivitas siswa terhadap orang lain,
menguasai skill tidak terarah lalu mempraktikkannya dalam interaksi dengan
siswa, memberikan respons terhadap siswa, serta menggunakan skill yang
tergambar dari repertoar teknik-teknik konseling tidak terarah.
Fase Pertama:
Menjelaskan Keadaan yang
Membutuhkan Pertolongan
|
Fase Kedua:
Menelusuri Masalah
|
Guru mendorong siswa mengungkapkan perasaan dengan bebas
|
Siswa didorong untuk menjabarkan masalah
Guru menerima dan mengapresiasi perasaan-perasaan
|
Fase Ketiga:
Mengembangkan Wawasan
|
Fase Keempat:
Merencanakan dan Membuat
Keputusan
|
Siswa mendiskusikan masalah
Guru menyemangati siswa
|
Siswa merencanakan urutan pertama dalam proses pengambilan
keputusan
Guru menjelaskan keputusan yang mungkin diambil
|
Fase Kelima:
Keterpaduan
|
Tindakan Di Luar
Wawancara
|
Siswa mendapat wawasan lebih mendalam dan mengembangkan tindakan
yang lebih positif.
Sedangkan guru berfungsi sebagai penyemangat
|
Siswa mulai melakukan tindakan yang positif
|
”Struktur
Pengajaran Meskipun
pengajaran tak tararah sifatnya fleksibel dan tidak bias diperkirakan,
Roger menegaskan bahwa wawancara tak terarah memiliki sesuatu rangkaian.
Rangkaian tersebut dibagi kedalam lima tahap yaitu: Pada tahap pertama,
penjelasan mengenai keadaan yang membutuhkan bantuan. Tahap ini mencakup
serangkaian pertanyaan yang memberikan kebebasan pada siswa untuk mengungkapkan
perasaan, sebuah persetujuan mengenai fokus umum dalam wawancara, pernyataan
masala, diskusi-siskusi mengenai wawancara tersebut (jika memang akan
dilanjutkan) dan penetapan prosedur tatap muka. Tahap pertama ini biasanya
berlangsung selama sesi pertama dalam membahas masalah tertentu. Namun
penyusunan dan penjelasan yang diberikan oleh guru mungkin saja dibutuhkan
dalam beberapa waktu meskipun hal ini seringkali memberikan memberikan
kesimpulan yang berubah-ubah dalam menjabarkan kembali masalah dan kemjuan yang
diperoleh. Secara alamiah, komentar-komentar yang sudah tersusun dan
terjabarkan ini akan berbeda dengan masalah yang dihadapi siswa. Misalkan saja,
negosiasi kontrak akademi berbeda dengan menghadapi situasi-situasi problematik
yang berhubungan dengan perilaku. Pada
tahap kedua, melalui penerimaan guru
dan kejelasan masalah, siswa didorong untuk mengungkapkan perasaan positif dan
negatif serta mengatakan dan menjelaskan masalah yang ada. Pada tahap ketiga, secara
bertahap dan perlahan-perlahan, siswa mulai mengembangkan wawasan yang
dimilikinya; siswa merasakan ada makna baru dari pengalaman pribadinya. Pada tahap keempat,
kosentrasi siswa diarahkan untuk perencanaan dan pembuatan keputusan
dengan mengacu pada masalah yang ada.
Peran guru pada tahap ini adalah menjelaskan dan membeberkan beberapa
alternatif. Pada tahap kelima, siswa
melaporkan tindakan yang dilakonkannya,
mengembangkan wawasan, serta merencanakan tindakan yang lebih positif,
terpadu, dan menunjukan kemajuan. Struktur pengajaran yang disajikan disini dapat dilangsungkan dalam
satu secara atau bahkan dalam beberapa rangkaian. Untuk kasus terakhir, tahap
pertama dan kedua dapat terjadi dalam tahap-tahap awal diskusi, dilanjutkan
dengan tahap ketiga dan keempat, dan tahap kelima pada akhir wawancara, atau
jika ada tatap muka lain dengan siswa yag kebetulan memiliki masalah mendadak
tahap pertama hingga keempat bisa dilangsungkan dalam satu pertemuan, dengan
meminta mereka menjelaskan perilaku dan wawasannya secara singkat. Disisi lain,
sesi yang melibatkan negosiasi kontrak akademik dipertahankan selama beberapa
waktu tertentu, dan konteks setiap pertemuan/tatap muka pada umumnya mencakup
beberapa peranan dan pembuatan keputusan, walaupun ada beberapa sesi yang
sepenuhnya digunakan untuk membeberkan sebuah masalah yang mungkin saja
terjadi. Hal yang sangat penting dalam hal ini adalah pemahaman siswa bahwa
dirinya memiliki tanggungjawab pada dampak/pengaruh yang akan mereka rasakan
dari pada tak berdaya mengatasi masalah-masalah yang datang dari luar. Sistem Sosial Sistem sosial dalam strategi tak terarah mengharuskan guru berperan
sebagaifasilitator atau reflektor. Namun, hal yang paling penting untuk
ditekankan adalah siswa bertanggung jawab pada pengelolaan proses interaksi
(kontrol); adanya pembagian kewenangan antara siswa dan guru. Norma-norma dalam
konteks ini menyangkut ekspresi perasaan secara bebas dan kemandirian pikiran
serta perilaku. Reward untuk perilaku untuk hasil tertentu dan utamanya hukuman
tidaklah ditetapkan dalam strategi ini. Reward dalam wawancara tidak terarah
(nondirectic interview) lebih subtil dan bersifat intrinsik penerimaan
pemahaman dan empati dari guru. Pengetahun mengenai diri sendiri dan reward
psikologis yang diperoleh dari kepercaya dirian dikembangkan sendiri oleh
siswa. Peran atau Tugas Guru Tugas-tugas
guru didasarkan pada upaya menggiring siswa pada ranah penelitian tentang
pengaruh. Guru sebisa mungkin menjangkau siswa berempati pada kepribadian dan
masalah yang dihadapi dan meespon dengan berbagai cara untuk membantu siswa
menjabarkan masalah dan perasaannya, mereka bertanggung jawab pada tindakan
mereka dan merencanakan sasara-sasaran dan metode-metode dalam mencapai
karakteristik siswa. Sistem pendukung Sistem pendukung dalan strategi ini berbeda menurut fungsi
wawancara. Jika wancara adalah untuk menegosiasikan kontrak akademik, maka hal
yang diperlukan dalam pembelajarab terarah diri (self dicertid learning) harus
tersedia dan sesuai. Jika wawancara mencakup proses konseling menyangkut
masalah-masalah perilaku, harus ada sumber-sumber yang dapat membantu guru
melakukan hal semacam ini. Dalam kedua kasus tersebut situasi one to one
mensyaratkan susunan ruang yang memudahkan siswa untuk berpindah disepanjang
penjuru kelas dan untuk melakukan aktivitas yang berberda serta menyediakan
waktu yang luas dan tidak terburu-buru dalam membeberkan sebuah masalah dengan
cukup mendetail untuk wilayah kurikulum akademik semisal membaca, menulis, ilmu
kesusastraan, dan ilmu sosial membutuhkan deretan materi yang cukup memadai. Dampak-dampak Intruksional dan Pengiring Oleh karena aktivitas tidaklah diarahkan secara detail namun hanya
ditempatkan pembelajar, maka siswa hanya berhadapan dengan guru dan siswa lain,
lingkungan tidak terarah sangat bergantung pada dampak pengiringnya, dengan
dampak intruksional yang ditentukan oleh kesuksesan dalam membentuk
perkembangan diri lebihefektif (gambar 14.2) Oleh karena itu model ini bisa
dianggap sebagai buah pembentukan secara keseluruhan. Namun, model ini lebih
bergantung pada dampak yang dirahasiakan dalam lingkungan tidak terarah
dibanding memerharikan capaian konten dan skill melalui aktivitas yang
dirancang khusus.
1.

2.
|
||||||
|
||||||
|
||||||
2.
Model Sinektik
Menurut
Aunurrahman (2013; 162) sinektik merupakan salah satu model pembelajaran yang
didesain oleh Gordon yang pada dasarnya diarahkan untuk mengembangkan
kreativitas. Gordon menggagas model sinektik dalam empat gagasan yang intinya menampilkan perubahan
pandangan konvensional tentang kreativitas. Pertama,
kreativitas penting di dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Ia menekankan
bahwa kreativitas sebagai bagian dari keseharian dari kehidupan kita. Bahwa
setiap individu selalu menghubungkan proses kreativitas dengan kegiatan yang ia
lakukan. Karena kreativitas dilihat sebagai bagian dari pekerjaan keseharian.
Maka model sinektik ini dirancang untuk mendorong kapasitas pemecahan masalah,
mengekspresikan kreatif empati dan dorongan untuk memperkokoh hubungan-hubungan
sosial. Kedua, proses kreatif tidak
sepenuhnya merupakan hal yang misterius. Banyak aspek pada proses kreatif yang
dapat dijelaskan dan bahkan sangat mungkin bagi seseorang untuk mengarahkan
dirinya sehingga mampu mendorong berkembangnya kreativitas. Hal ini menurut
Gordon bertentangan dengan pandangan konvensional. Ketiga, temuan tentang kreatif berlaku sama pada berbagai bidang,
baik seni, ilmu pengetahuan, enginering, yang dicirikan dengan kesamaan
proses intelektualnya. Ide-ide ini tentu berbeda dengan kebanyakan pendapat
umum yang memandang bahwa kreativitas hanya identik dengan dunia seni. Dalam
dunia sains
dan enginering lebih dikenal dengan istilah penemuan (invention). Keempat, bahwa penemuan/berpikir kreatif
(creative thinking) individu pada prinsipnya tidak berbeda.
Penerapan model
sinetik dalam proses pembelajaran menurut Aunurrahman (2013;163) dilakukan
dalam enam tahap:
1.
Guru menugaskan siswa untuk
mendeskripsikan situasi yang ada sekarang
2.
Siswa mengembangkan berbagai analogi, kemudian
memilih satu diantara analogi tersebut kemudian mendeskripsikan dan menjelaskannya secara mendalam
3.
Siswa menjadi bagian dari
analogi yang dipilihnya pada tahap sebelumnya
4.
Siswa mengembangkan pemikiran
dalam bentuk deskripsi-deskripsi dari yang dihasilkan pada tahap dua dan tiga,
kemudian menemukan pertentangan-pertentangan
5.
Siswa menyimpulkan dan
menentukan analogi-analogi tidak langsung lainnya
6.
Guru mengarahkan agar siswa
kembali pada tugas dan masalah semula dengan menggunakan analogi-analogi
terakhir atau dengan menggunakan seluruh pengalaman sinektik.
Penerapan synectics dalam
pembelajaran menurut Joyce (1992) seharusnya mengandungi tiga prinsip yaitu:
1.
Prinsip reaksi merujuk kepada
respon guru terhadap pelajarnya. Diharapkan guru menerima semua respon pelajar
dalam apapun bentuknya dan menjamin bahwa hal tersebut seolah-olah merupakan
ungkapan kreatif pelajar, akan tetapi melalui pertanyaan evokatif, guru dapat
merangsang lebih lanjut kemampuan berfikir kreatifnya;
2.
Sistem sosial mendeskripsikan
peranan dan hubungan antara guru dan pelajar serta mendeskripsikan jenis norma
yang disarankan. Sistem sosial dalam synectics
terstruktur secara sederhana, yang dalam praktiknya berupa guru mengawal dan mengarahkan
pelajar untuk memecahkan masalah melalui analogi, mengembangkan kebebasan
intelektual, dan memberikan hadiah yang nantinya akan menjadi kepuasan dalam
pelajar yang diperoleh dari pengalaman belajar;
3.
Sistem pendukung mengacu pada
keperluan yang diperlukan untuk implementasi. Sistem pendukung dalam kegiatan synectics terdiri dari pengalaman guru
tentang kegiatan synectics,
lingkungan yang nyaman, makmal, atau sumber belajar lainnya.
3.
Model Pembelajaran
Latihan kesadaran
Pembelajaran latihan kesadaran ini ditemukan oleh Fritz
Perls dan Wilian Schultz. Ia menekankanpentingnya pelatihan interpersonal
sebagai sarana peningkatan kesadaran pribadi.Khoiru, Sofan, dkk (2011)
menjelaskan ada empat tipe perkembangan yang dibutuhkan untuk merealisasikan potensi
diri secara utuh, yaitu :
a.
Fungsi tubuh.
b.
Fungsi personal, termasuk di dalamnya akuisi pengetahuan dan
pengalaman, kemampuan berpikir logis dan kreatif dan integrasi intelektual.
c.
Perkembangan interpersonal, dan
d.
Hubungan
individu dengan institusi
sosial, organisasi sosialdan budaya masyarakat.
Landasan
prosedur pembelajaran ini adalah teori
encounter. Penjelasan yang terdapat dalam teori ini merupakan penjelasan
seputar metode untuk meningkatkan kesadaran hubungan antarmanusia yang
didasarkan atas keterbukaan, kejuuran, kesadaran diri, tanggung jawab,
perhatian terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, dan berorientasi pada
keadaan sekarang. Pelaksanaan pembelajaran ini tidak menghabiskan waktu terlalu
banyak. Pelaksanaannya dapat dilakukan dalam bentuk diskusi, keterbukaan dan
kejujuran merupakan hal yang penting dalam pelaksanaannya. Penerapan pembelajaran
ini dapat meningkatkan perkembangan emosi. Penerapan
pengajaran latihan kesadaranSampai saat ini, masih sangat sedikit sekolah atau
guru yang menerapkan model ini. Permainan-permainan sederhana dapat dilakukan
untuk keperiuan ini. Model ini juga dapat dilakukan sebagai selingan yang tidak
memakan waktu terlalu banyak. Dalam pelaksanaan diskusi, keterbukaan dan
kejujuran menjadi sangat penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model ini
dapat meningkatkan perkembangan emosi. Prosedur pembelajaran
pelatihan kesadaran hanya
meliputi duatahap, yaitu:
1.
Penyampaian dan penyelesaian tugas.
2.
Diskusi dan analisis tahap pertama.
4.
Model Pertemuan kelas
Pelopor pembelajaran ini adalah Wiliam Glasser. Menurut
Aunurrahman (2013;167) Glasser mengadopsi model konseling untuk merancang model
ini dengan maksud membantu para pelajar memikul tanggungjawab atas perilakunya
dan tanggungjawab untuk lingkungan sosialnya. Sehingga dapat digunakan dalam
lingkungan kelas. Didalam kelas, model ini diwujudkan seperti layaknya rapat
atau pertemuan dimana kelompok bertanggungjawab untuk membangun sistem sosial
yang sesuai untuk melaksanakan tugas-tugas akademis dengan mempertimbangkan
unsur perbedaan perseorangan dengan tetap menghargai tugas-tugas bersama dan
hak-hak orang lain.Pembelajaran pertemuan kelas memiliki enam tahap
pelaksanaannya, yaitu.
a.
Menciptakan suasana kelas yang kondusif.
b.
Menyampaikan pemasalan diskusi.
c.
Membuat penilaian pribadi.
d.
Mengidentifikasi alternatif tindakan solusi.
e.
Membuat komitmen.
f.
Merencanakan tindak lanjut tindakan.
Menurut
Aunurrahman (2013;167) terdapat beberapa bentuk pertemuan kelas;
a.
Pertemuan untuk memecahkan masalah sosial. Dalam kegiatan
ini biasanya para siswa mencoba membagi tanggungjawab, belajar, serta bertindak
dengan cara memecahkan masalah mereka didalam kelas.
b.
Pertemuan yang tidak hanya terbatas bagi para siswa, dimana
didalamnya para peserta terlibat didalam mendiskusikan berbagai masalah
kehidupan sosial.
c.
Pertemuan
sebagaimana bentuk pertama
dan kedua, namunpara siswa terikat untuk membahas
sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang sedang dipelajari di dalam kelas.
Guru membuat
komitmen bersama untuk melaksanakan langkah-langkah pemecahan masalah tersebut.
Bila perlu membuat aturan bersama berikut sanksi bagi yang melanggarnya. Pada
pertemuan berikutnya, setelah langkah-langkah yang disepakat dilaksanakan guru
mengevaluasi efektivitas pelaksanan tersebut. Model pertemuan kelas ini dapat
dilakukan maksimal tiga kali dalam sehari. Tapi, biasanya sekali sehari sudah
cukup tergantung dari permasalahan yang dihadapi.Pembelajar hanya menstimulasi
berpikir mengenai apa yang pebelajar tahu
atas subjek yang didiskusikan. Sedangkam pertemuan diagnosis
pendidikan dikaitkan dengan apa yang sedang dipelajari di kelas. Tujuannya
untuk mendapatkan apakah kelas tidak memahami pelajaran. Dalam
hal ini bukan untuk menilai pelajar, melainkan untuk menemukan apa yang
mereka tahu dan
mereka tidak tahu. Jadi
pembelajar tidakmenilai dalam diskusi-diskusi. Pembelajar boleh menyampaikan
pendapatdengan bebasdan menarik kesimpulan
tentang apa yang dianggapnya tepat. Meskipun
Glasser mengemukakan 3
(tiga) tipe pertemuan
kelasyang berbeda, namun mempunyai mekanisme yang sama.
Untuk mendapatkan gambaran tentang struktur model pertemuan kelas
ini dapat kita kemukakan sebagai berikut:
a.
Sintaks
Sintaks dalam
model pengajaran pertemuan kelas ini terdiri dari beberapa fase yaitu: (a) fase
I : pembelajar menciptakan suasana yang tenang, (b) fase II : pembelajar dan
pebelajar menyatakan masalah-masalah yang akan didiskusikan, (3) fase III :
pembelajar menyuruh pebelajar melakukan penilaian pribadi, (d) fase IV :
pembelajar dan pebelajar mengidentifikasikan alternafif segi-segi pelajaran
yang akan didiskusikan, (e) fase V : pebelajar membuat suatu commitment tingkah laku dan (f) Fase VI
: pembelajar rnembuat kelompok tindak lanjut tingkah Iaku.
b.
Prinsip reaksi
Reaksi guru
bersumber pada 3 (tiga) prinsip yaitu: (a) prinsip keterlibatan, (b) pembelajar
tidak memberi penilaian dan (c) pembelajar mengidentifikasikan, memilih dan
mengikuti alternatif-alternatif studi tingkah laku
c.
Sistem social
Pembelajar sebagai
moderator kegiatan-kegiatan. Tetapi pada fasa-fase tertentu ia mengambil
inisiatif atau mengakhiri kegiatan bersama pebelajar.
d.
Sistem Pendukung Sistem
pendukungnya terutama terletak pada kompetensi pembelajar yaitu pribadi yang
menyenangkan dan keterampilan interpersonal dan penguasaan teknik diskusi.
Penjelasan konseptual mana?
BalasHapus